MUKJIZAT AL-QUR’AN
Oleh: Hairul Anam
BAB I
PENDAHULUAN
“Singa padang pasir” seketika berhenti mengaum. Bibirnya
bergetar. Taring giginya yang tajam, tak mampu membuatnya bertindak brutal. Hatinya
terpana. Tatapannya kosong. Dan kata-kata yang hendak diucapkannya pun seakan
tercekat. Keganasannya, luluh tergoyahkan.
Setidaknya, begitulah sekilas gambaran yang menerpa Umar
bin Khattab. Dia mendapat julukan sebagai singa padang pasir, tak lain karena
terkenal dengan keberaniannya yang membaja. Sebelum hidayah menyesapi lubuk
hatinya, dia menjadi lelaki yang ganas dan membahayakan terhadap keseharian
umat Islam.
Namun demikian, hatinya yang keras menjadi melemas ketika
dirinya dihadapkan pada ayat-ayat suci Alquran. Kegarangan si singa padang
pasir pun sirna. Umar sangat takjub terhadap lembaran Alquran yang ia dapatkan
dari saudari kandungnya yang telah memeluk agama Islam, Fatimah.[1]
Bertitik pijak pada sejarah tersebut, ketakjuban terhadap
keluarbiasaan Alquran tak hanya bisa menimpa hati seseorang yang jernih. Seorang
pemarah seperti Umar pun, kebekuan hatinya mampu cair atas kekuasaan Allah
melalui mukjizat Alquran.
Jumhur ulama sepakat, kitab suci umat Islam ini merupakan
mukjizat tak terbantahkan. Penjabaran di atas, hanya salah satu dari sekian
banyak kemukjizatan yang dikandung Alquran. Segi-segi kemukjizatan yang
dikandungnya, penting untuk diketahui guna memantapkan keyakinan kita selaku
umat Muhammad SAW.
Dalam pada itu, persoalan mukjizat Alquran ini sempat
menyeret para teolog klasik dalam perdebatan yang berkesinambungan. Dalam
catatan historis, para teolog yang memiliki pandangan tak sama dalam kaitannya
mukjizat Alquran ialah kalangan Mu’tazilah dan Ahlussunnah mengenai konsep
“shirfah”.
Dibanding dengan mukjizat para rasul sebelumnya,
sebagaimana diakui Prof Dr Komaruddin Hidayat,[2]” mukjizat
nabi Muhammad sangat khas dan berbeda, yakni lebih menantang akal pikiran
ketimbang kekuatan indrawi. Alquran yang merupakan himpunan wahyu Allah yang
kini terekam dalam sebuah mushaf cetak, memiliki sifat terbuka, bisa dibaca dan
dipelajari oleh siapa pun, baik mereka yang muslim maupun non-muslim. Alquran
sendiri menyebut dirinya sebagai hidayah, bukan mukjizat, bagi manusia agar
memperoleh jalan keselamatan dan kebahagiaan. Tentu, keselamatan di dunia
maupun di akhirat kelak.
Makalah ini, akan meninitiktekankan pada hal-hal yang
berkaitan dengan mukjizat Alquran, yaitu pengertian dari mukjizat itu sendiri, tujuan dan fungsi mukjizat, macam-macamnya,
segi-segi kemukjizatannya, serta perbedaan pendapat di kalangan ulama berkenaan
dengan kemukjizatan Alquran.
Tujuan penulisan makalah ini, tidak lain guna memahami
lebih jauh tentang mukjizat Alquran, tujuan dan fungsi mukjizat, macam-macam
dan segi-segi kemukjizatannya, serta persoalan yang muncul ke permukaan
kaitannya dengan mukjizat Alquran. Sebagai muaranya, hal itu dapat kian
memperkuat keyakinan atau keberimanan kepada Allah SWT.
Di samping itu, melalui pemahaman tersebut, kita akan
tergugah untuk sadar, betapa Allah mengutus Nabi Muhammad SAW itu ialah dengan
“bekal tauhidiyah” yang terbilang canggih. Mukjizat yang diterima olehnya,
dapat meretas jalan keluar guna menghadapi kepandaian kaumnya. Lebih dari itu,
juga sebagai bukti bahwa kekuasaan Allah itu tak tertandangi. Sebab, Allah itu
zat Yang Maha Kuasa yang tak ada kekuasaan yang mampu melemahkan kekuasaan-Nya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mukjizat
Pada umumnya, kata mukjizat
seringkali dipahami sebagai kejadian ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan
akal manusia. Pemahaman seperti ini, sudah merambah dalam pikiran umat Islam di
Indonesia. Meski begitu, pemahaman tersebut tidak lantas disamakan dengan
pengertian kata mukjizat dalam istilah agama Islam.
Menurut M Quraish Shihab, kata
mukjizat terambil dari kata bahasa Arab a’jaza
yang berarti “melemahkan atau menjadikan tidak mampu”. Pelakunya (yang
melemahkan) dinamai mu’jiz dan bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat
menonjol sehingga mampu membungkamkan lawan, maka ia dinamakan mu’jizat. Tambahan ta’ marbûthah pada akhir kata itu mengandung makna mubâlaghah (superlatif). [3]
Sementara itu, para pakar agama
Islam memberikan penjelasan secara detail mengenai mukjizat ini. Salah satunya
sebagaimana ditegaskan Said Agil Husain Al-Munawwar: “sesuatu luar biasa
yang diperlihatkan oleh Allah melalui para nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti
atas kebenaran pengakuan kenabian dan kerasulannya.”[4]
Hal senada juga dijelaskan oleh
Rosihon Anwar.[5] Menurutnya,
kata mukjizat diambil dari kata kerja
a’jaza – i’jaz. Ini sejalan dengan
firman Allah dalam Q.S. Al-Mâ’idah [5] : 31.
“... mengapa aku tidak mampu berbuat seperti
burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?” (Q.S. Al-Mâ’idah [5]: 31).
Yang dimaksud dengan i’jâz dalam pembicaraan ini ialah
menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan
menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu
Alquran, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.[6]
Terlepas dari penjabaran di atas, terdapat beberapa unsur yang melekat pada mukjizat Alquran.
Sebagaimana diuraikan oleh M Quraish Shibab, unsur-unsur tersebut meliputi
sebagai berikut: [7]
1.
Hal atau
peristiwa yang luar biasa
Peristiwa-peristiwa alam, misalnya, yang terlihat
sehari-hari, walaupun menakjubkan tidak dinamai mukjizat, karena ia telah
merupakan sesuatu yang biasa. Yang dimaksud dengan luar biasa adalah sesuatu
yang berada di luar jangkauan sebab dan akibat yang diketahui secara umum
hukum-hukumnya. Dengan demikian, hipnotisme atau sihir, misalnya, walaupun
sekilas terlihat ajaib atau luar biasa, namaun karena ia dapat dipelajari maka
ia tidak termasuk dalam pengertian “luar biasa” dalam definisi di atas.
2.
Terjadi
atau dipaparkan oleh seorang yang mengaku nabi
Tidak mustahil terjadi hal-hal di luar kebiasaan pada
diri siapa pun. Namun apabila bukan dari seorang yang mengaku nabi, maka ia
tidak dinamai mukjizat. Boleh jadi sesuatu yang luar biasa tampak pada diri
seorang yang kelak bakal menjadi nabi. Ini pun tidak dinamai mukjizat tetai irhâsh. Boleh jadi juga keluarbiasaan
itu terjadi pada seseorang yang taat dan dicintai Allah, tetapi ini pun tidak
dapat disebut mukjizat. Hal seperti ini dinamai karâmah atau kekeramatan, yang bahkan tidak mustahil terjadi pada
seseorang yang durhaka kepada-Nya. Yang terakhir ini dinamai ihânah (penghinaan) atau istidrâj (“rangsangan” untuk lebih
durhaka).
Bertitik tolak dari keyakinan umat Islam bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah nabi terakhir, maka tidak mungkin lagi terjadi suatu
mukjizat sepeninggalnya, walaupun ini bukan berarti bahwa keluarbiasaan tidak
dapat lagi terjadi dewasa ini.
3.
Mengandung
tantangan terhadap yang meragukan kenabian
Tentu saja tantangan ini harus berbarengan dengan
pengakuannya sebagai nabi, bukan sebelum atau sesudahnya. Di sisi lain, tantangan
tersebut harus pula merupakan sesuatu yang sejalan dengan ucapan sang nabi.
Kalau misalnya ia berkata, “batu ini dapat berbicara,” tetapi ketika batu
tersebut berbicara, dikatakannya bahwa “sang penantang berbohong” maka
keluarbiasaan ini bukanlah suatu mukjizat tetapi ihânah atau istidrâj.
4.
Tantangan
tersebut tidak mampu atau gagal dilayani
Bila yang ditantang berhasil melakukan hal serupa, maka
ini berarti bahwa pengakuan sang penantang tidak terbukti. Perlu digarisbawahi
di sini bahwa kandungan tantangan harus benar-benar dipahami oleh yang
ditantang. Bahkan untuk lebih membuktikan kegagalan mereka, biasanya aspek
kemukjizatan masing-masing nabi adalah hal-hal yang sesuai dengan bidang
keahlian umatnya.
Perhatikanlah misalnya mukjizat
Nabi Musa yang beralihnya tongkat menjadi ular yang dihadapkan kepada
masyarakat yang amat mengandalkan sihir. Mukjizat yang begitu jelas ini
benar-benar membungkamkan para ahli sihir yang dintang oleh Babi Musa sehingga
mereka tak kuasa kecuali mengakui kekalahan mereka, walaupun Fir’aun mengancam
dengan aneka ancaman (QS Thâhâ [20]: 63-76).
Perhatikan juga Nabi Shaleh
yang menghadapi kaum Tsamud yang amat gandrung melukis dan memahat,
smapai-sampai relief-relief indah “bagiakan sesuatu yang hidup” menghiasi
gunung-gunung tempat tinggal mereka (QS Al-A’râf [7]: 74 dan Al-Fajr [89]: 9). Kepada
mereka disodorkan mukjizat yang sesuai dengan “keahlian” itu, yakni keluarnya
seekor unta yang benar-benar hidup dan batu karang yang kemudian mereka lihat
makan dan minum (QS Al-A’râf [7]: 73 dan QS Asy-Syu’aâ’ [26]: 155-156) dan
bahkan mereka pun meminum susu unta tersebut.
Ketika itu, relief-relief yang
telah mereka lukis tidak lagi berarti sama sekali dibandingkan dengan unta yang
menjadi mukjizat itu. sayang mereka begitu keras kepala dan kesal sampai mereka
tidak mendapat jalan lain kecuali menyembelih unta itu, sehingga Tuhan pun
menjatuhkan palu godam terhadap mereka (QS Asy-Syams [91]: 13-15).
Jadi, istilah mukjizat rasanya
memiliki korelasi dengan sebuah penentangan dan perlawanan. Sedangkan hidayah
sifatnya lebih membimbing dan menunjuki, bukan menaklukkan. Namun demikian,
bisa saja mukjizat dan hidayah merupakan dua sisia dari satu mata uang. Bahwa
kandungan petunjuk Alquran akan mudah masuk diterima oleh nalar dan hati setelah
keangkuhan ego dan nalar manusia ditantang dan ditaklukkan lebih dahulu oleh
ayat-ayat Alquran. Kisah dan metode semacam ini bisa ditelusuri pada sejarah
Ibrahim, misalnya, ketika menghadapi kaumnya yang gemar menyembah pemimpin,
menyembah patung dan planet. Oleh nabi Ibrahim logika dan argumentasi kaumnya
diikuti terus, sampai pada titik tertentu mengalami kebuntuan, baru nabi
Ibrahim mengoreksi dan membimbing mereka untuk berpikir lebih logis dan kritis.
Bahwa yang paling pantas dan rasional untuk disembah itu bukannya patung,
matahari, bulan dan makhluk lain, melainkan Sang Pencipta semua itu yang paling
rasional untuk disembah dan diimani.
B.
Tujuan dan Fungsi Mukjizat
Setiap yang hadir ke dunia ini,
tidak lepas dari tujuan dan fungsinya. Sebagaimana halnya manusia, ia dicipta
tak lain untuk beribadah kepada Allah SWT. Di samping itu, ia berfungsi sebagai
khalifah atau pemimpin di muka bumi ini. Bagaimana dengan tujuan dan fungsi
dari mukjizat Alquran?
M Quraish Shihab[8]
menyatakan, mukjizat berfungsi sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan
yang tampak atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai ucapan Tuhan:
“Apa yang dinyatakan sang Nabi adalah benar. Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya
adalah Aku melakukan mukjizat itu.”
Mukjizat, walaupun dari segi
bahasa berarti melemahkan sebagaimana dikemukakan di atas, namun dari segi
agama, ia sama sekali tidak dimaksudkan untuk melemahkan atau membuktikan
ketidakmampuan yang ditantang. Mukjizat ditampilkan oleh Tuhan melalui
hamba-hamba pilihan-Nya untuk membuktikan kebenaran ajaran Ilahi yang dibawa
oleh masing-masing nabi. Jika demikian halnya, maka ini paling tidak mengandung
dua konsekuensi.
Pertama, bagi yang
telah percaya kepada nabi, maka ia tidak lagi membutuhkan mukjizat. Ia tidak
lagi dipandang untuk melakukan hal yang sama. Mukjizat yang dilihat atau
dialaminya hanya berfungsi memperkuat keimanan, serta menambah keyakinannya
akan kekuasaan Allah SWT.
Kedua, para nabi
sejak Adam hingga Isa diutus untuk suatu kurun tertentu serta masyarakat
tertentu. Tantangan yang mereka kemukakan sebagai mukjizat pasti tidak dapat
dilakukan oleh umatnya. Namun apakah ini berarti peristiwa luar biasa yang
terjadi melalui mereka itu tidak dapat dilakukan oleh selain umat mereka pada
generasi sesudah generasi mereka?
Jika tujuan mukjizat hanya untuk meyakinkan umat setiap nabi, maka boleh
jadi umat yang lain dapat melakukannya. Kemungkinan ini lebih terbuka bagi
mereka yang berpendapat bahwa mukjizat pada hakikatnya berada dalam jangkauan
hukum-hukum (Allah yang berlaku di) alam. Namun, ketika hal itu terjadi,
hukum-hukum tersebut belum lagi diketahui oleh masyarakat nabi yang
bersangkutan.
Sumber daya manusia sungguh
besar dan tidak dapat dibayangkan kapasitasnya. Potensi kalbu yang merupakan
salah satu sumber daya manusia dapat menghasilkan hal-hal luar biasa yang boleh
jadi tidak diakui oleh yang tidak mengenalnya. Hal ini sama dengan penolakan
generasi terdahulu tentang banyaknya kenyataan masa kini yang lahir dari
pengembangan daya pikir.
Nah, sama sekali bukanlah satu
hal yang mustahil apabila kesucian jiwa para nabi dapat menghasilkan—melalui
bantuan Allah—peristiwa luar biasa dipandang dari ukuran hukum-hukum alam yang
diketahui umum. Padahal sesungguhnya ia mempunya hukum-hukumnya tersendiri dan
yang dapat dilakukan oleh siapa pun selama terpenuhi syarat-syaratnya. Boleh
jadi dalam konteks ini yang menyebabkan terjadinya adalah kesucian jiwa
tersebut.
C.
Macam-Macam Mukjizat
Secara garis besar, mukjizat dapat
dibagi dalam dua bagian pokok, yaitu mukjizat yang bersifat material indrawi
yang tidak kekal dan mukjizat imaterial, logis, yang dapat dibuktikan
sepanjang masa. Mukjizat nabi-nabi terdahulu merupakan jenis pertama. Mukjizat
mereka bersifat material dan indrawi dalam artian keluarbiasaan tersebut dapat
disaksikan atau dijangkau langsung melalui indra oleh masyarakat tempat nabi
tersebut menyampaikan risalah.
Perahu Nabi Nuh yang dibuat
atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi ombak dan gelombang
yang demikian dahsyatnya; tidak terbakarnya Nabi Ibrahim a.s. dalam kobaran api
yang sangat besar; tongkat nabi Musa a.s. yang beralih wujud menjadi ular;
penyembuhan yang dilakukan oleh nabi Isa a.s. atas seizin Allah, dan lain-lain,
kesemuanya bersifat material indrawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat
nabi berada, dan berakhir dengan wafatnya tiap-tiap nabi.
Hal tersebut berbeda dengan
mukjizat Nabi Muhammad SAW. yang
sifatnya bukan indrawi atau material, tetapi dapat dipahami akal. Karena
sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau masa tertentu.
Mukjizat Aiqur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang menggunakan akalnya di
mana dan kapan pun.
Perbedaan ini disebabkan oleh
dua hal pokok:
1.
Para nabi sebelum nabi Muhammad SWA. ditugaskan untuk masyarakat dan masa
tertentu. Oleh karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa dan
masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan Nabi
Muhammad yang diutus untuk seluruh umat manusia sampai akhir zaman, sehingga
bukti kebenaran ajarannya selalu ada, di mana dan kapan pun berada. Jadi
demikian halnya, tentu mukjizat tersebut
tidak mungkin bersifat material, karena kematerialan membatasi ruang dan
waktunya.
2.
Manusia mengalami perkembangan dalam pemikirannya. Umat para
nabi—khususnya sebelum Nabi Muhammad—membutuhkan bukti kebenaran yang harus
sesuai dengan tingkat pemikiran mereka. Bukti tersebut harus demikian jelas dan
langsung terjangkau oleh indra mereka. Akan tetapi, setelah manusia mulai
menanjak ke tahap kedewasaan berpikir, bukti yang bersifat indrawi tidak
dibutuhkan lagi. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad ketika diminta bukti-bukti yang
sifatnya demikian oleh mereka yang tidak percaya, beliau diperintahkan untuk
menjawab.
“Katakanlah,
‘Mahasuci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” (QS.
Al-Isra’ [17]:93)
D.
Segi-Segi Kemukjizatan Alquran
1.
Gaya Bahasa
Bahasa Alquran sangat memesona. Di dalam pengantar makalah
ini sudah sedikit diungkapkan, betapa Umar bin Khattab mendapat hidayah masuk
Islam, tak lain lantaran terpesona dengan keindahan bahasa yang terkandung
dalam Alquran.
Dalam pada itu, M Quraish
Shihab[9]
telah menjelaskan, Alquran mencapai tingkat tertinggi dari segi keindahan
bahasanya, sehingga membuat kagum bukan saja orang-orang mukmin, tetapi juga
orang-orang kafir. Berbagai riwayat menyatakan bahwa tokoh-tokoh kaum musyrikin
sering secara sembunyi-sembunyi berupaya mendengarkan ayat-ayat Alquran yang dibaca
oleh kaum muslim. Kaum muslimin di samping mengagumi keindahan bahasa Alquran,
juga mengagumi kendungannya serta meyakini bahwa ayat-ayat Alquran adalah
petunjuk kebahagiaan dunia akhirat.
Diakui Muhammad ‘Ali
Ash-Shabuni,[10]
gaya bahasa Alquran banyak membuat orang Arab saat itu kagum dan terpesona.
Kehalusan ungkapan bahasanya membuat banyak manusia masuk Islam. Bahkan, Umar
bin Khaththab pun yang mulanya dikenal sebagai seorang yang paling memusuhi
Nabi Muhammad SAW. dan bahkan berusaha untuk membunuhnya, ternyata masuk Islam
dan beriman kepada kerasulan Muhammad yang karena mendengar petikan ayat-ayat Alquran.
Susunan Alquran tidak dapat disamai oleh karya sebaik apapun.
2.
Susunan Kalimat
Kendatipun Alquran, hadis
qudsi, dan hadis nabawi sama-sama keluar dari mulut Nabi, uslub (style) atau
susunan bahasanya sangat jauh berbeda. Uslub
bahasa Alquran jauh lebih tinggi kualitasnya bila dibandingkan dengan dua
yang lainnya. Alquran muncul dengan uslub
yang begitu indah. Di dalam uslub tersebut
terkandung nilai-nilai istimewa dan tidak akan pernah ada pada ucapan manusia.
Dalam Alquran, misalnya, banyak
ayat yang mengandung tasybih (penyerupaan)
yang disusun dalam bentuk yang sangat indah lagi memesona, jauh lebih indah
daripada apa yang dibuat oleh para penyair dan sastrawan. Dapat dilihat salah
satu contoh dalam surat Al-Qâri’ah [101]: 5 Allah berfirman:
“Dan gunung-gunung adalah seperti
bulu yang dihambur-hamburkan“
Bulu yang dihambur-hamburkan
sebagai gambaran dari gunung-gunung yang telah hancur lebur berserakan
bagian-bagiannya. Kadangkala Alquran mengarah untuk menyatakan bahwa kedua
unsur tasybih, yakni musyabbah (yang
diserupakan) dan musyabbah bih (yang
diserupakan dengannya) itu mempunyai sifat indrawi yang sama.
3.
Hukum Ilahi yang Sempurna
Alquran menjelaskan pokok-pokok
akidah, norma-norma keutamaan, sopan santun, undang-undang ekonomi politik,
sosial dan kemasyarakatan, serta hukum-hukum ibadah. Kalau pokok-pokok ibadah
wajib diperhatikan, akan diperoleh kenyataan bahwa Islam telah memperluasnya
dan menganekaragamkannya serta meramunya menjadi ibadah maliyah, seperti zakat
dan sedekah. Ada juga yang serupa ibadah amaliyah sekaligus iabadah badaniyah
seperti berjuang di jalan Allah.
Tentang akidah, Alquran
mengajak manusia pada akidah yang suci dan tinggi, yakin beriman kepada allah
Yang Maha Agung; menyatakan adanya nabi dan rasul serta mempercayai semua kitab
samawi.
Dalam bidang undang-undang,
Alquran telah menetapkan kaidah-kaidah mengenai perdata, pidana politik, dan
ekonomi. Mengenai hubungan internasional, Alquran telah menetapkan
dasar-dasarnya yang paling sempurna dan adil, baik dalam keadaan damai ataupun
perang.
Dalam pada itu, Alquran
menggunakan cara global dan terperinci dalam menetapkan sebuah ketentuan hukum.
Persoalan ibadah umumnya diterangkan secara global, sedangkan perinciannya
diserahkan kepada para ulama melalui ijtihad.
Adapun hukum yang dijelaskan
secara terperinci ialah yang berkaitan dengan utang-piutang, makanan yang halal
dan yang haram, memelihara kehoramatan wanita, dan masalah perkawinan.
4.
Ketelitian Redaksinya
M Quraish Shihab memerinci
secara detail ketelitian redaksi dalam Alquran. Yaitu keseimbangan antara
jumlah bilangan kata dengan antonimnya; keseimbangan jumlah bilangan kata
dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya; keseimbangan antara jumlah bilangan
kata dengan jumlah kata yang menunjukkan kepada akibatnya; keseimbangan antaran
jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya; dan ada pula
keseimbangan-keseimbangan khusus.[11]
Berkaitan dengan ragam
keseimbangan berkaitan dengan redaksi Alquran sebagaimana diungkap Shihab,
berikut rinciannya:
- Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya. Beberapa contoh diantaranya:
1.
“Al-hayah” (hidup) dan “al-maut” (mati), masing-masing sebanyak
145 kali;
2. “An-naf” (manfaat) dan “al-madharah
(mudarat), masing-masing sebanyak 50 kali;
3. “Al-har” (panas) dan “al-badar” (dingin), masing-masing
sebanyak 4 kali;
4. “Ash-Shalihat” (kebajikan) dan “as-sayyi’at” (keburukan),
masing-masing sebanyak 167 kali;
5. “Ath-Thuma’ninah” (kelapangan/keterangan) dan “al-adhia”
(kesempitan/kesesatan), masing-masing sebanyak 13 kali;
6. “Ar-Rahbah” (cemas/takut)
dan “ar-raghbah” (harap/ingin) masing-masing sebanyak 8 kali;
7. “Al-Kufr” (kekufuran)
dan “al-iman” (iman) masing-masing sebanyak 17 kali;
8. “Ash-shay” (musim
panas) dan “asy-syita” (musim dingin)
masing-masing sebanyak 1 kali.
- Keseimbangan jumlah bilangan kata dengan sinonimnya/makna yang dikandungnya.
1.
“al-hart” dan “az-zirah” (membajak/bertani), masing-masing 14 kali;
2.
“al-‘Ushb” dan “adh-dhurur” (membanggakan diri/angkuh), masing-masing 27 kali;
3.
“adh-Dhalum” dan “al-mawta” (orang sesat/mati [jiwanya]), masing-masing 17 kali;
4.
“Alquran”, “al-wahyu”, dan Al-Islam” (Alquran, wahyu dan Islam), masing-masing 70 kali;
5.
“Al-‘Aql” dan “An-nur” (akal dan cahaya), masng-masing 49 kali;
6.
“Al-jahr” dan “Al-‘alaniyah” (nyata), masing-masing 16 kali.
- Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjukkan kepada akibatnya.
1.
“Al-infaq” (infaq) dengan “ar-ridha” (kerelaan), masing-masing 73
kali;
2.
“Al-Bukhl” (kekikiran) dengan “al-hasanah” (penyesalan), masing-masing
12 kali;
3.
“Al-kafirun” (orang-orang kafir) dengan “An-nar”/”Al-Ahraqa”
(neraka/pembakaran), masing-masing 154 kali;
4.
“Az-Zakah” (zakat/penyucian) dengan “al-barakat” (kebijakan yang banyak),
masing-masing 32 kali;
5.
“Al-Fahisyah” (kekejian) dengan “Al-ghadhb” (murka), masing-masing 26
kali.
- Keseimbangan antaran jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya[12]
1.
“Al-Israf” (pemborosan) dengan “as-sur’ah” (ketergesaan), masing-masing 23 kali;
2.
“Al-maq’izhah” (nasehat/petuah) dengan “Al-ihsan” (indah), masing-masing 25
kali;
3.
“Al-Asra” (tawanan) dengan “Al-Harb” (perang), masing-masing 6
kali;
4.
“As-Salam” (kedamaian) dengan “At-hayyibat” (kebijakan), masing-masing
60 kali.
- Di samping keseimbangan-keseimbangan tersebut, ditemukan juga keseimbangan khusus.
1.
Kata “Yawm” (hari) dalam bentuk tunggal sejumlah 365 kali, sebanyak
hari-hari dalam setahun, sedangkan kata hari yang menunjukkan pada bentuk
plural (“ayyam”), jumlah keseluruhannya hanya tiga puluh, sama dengan jumlah
hari dalam sebulan. Di sisi lain, kata yang berarti “bulan” (“syahr”) hanya
terdapat dua belas kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.
2.
Alquran menjelaskan bahwa langit ada “tujuh”. Penjelasan ini diulanginya
sebanyak tujuh kali pula, yakni dalam
surat Al-Baqarah [2] ayat 29, surat Al-Isra’ [17] ayat 44, surat Al-Mu’minun
[23] ayat 86, surat Fushilat [41] ayat 12, surat Al-Thalaq [65] ayat 12, surat
al-mulk [67] ayat 3, dan surat Nuh [71] ayat 15. Selain itu, penjelasan tentang
terciptanya langit dan bumi dalam enam hari dinyatakan pula dalam tujuh ayat.
3.
Kata-kata yang menunjuk kepada utusaan Tuhan, baik rasul atau nabi atau “basyir” (pembawa berita gembira) atau “nadzir” (pemberi peringatan),
kesemuanya berjumlah 518 kali. Jumlah ini seimbang dengan jumlah penyebutan
nama-nama nabi, rasul, dan pembawa berita, yakni 518 kali.
5. Berita tentang Hal-hal yang Gaib[13]
Sebagian ulama mengatakan bahwa
sebagian mukjizat Alquran itu adalah
berita-berita ghaibin Firaun, yang mengejar-ngejar nabi Musa, diceritakan dalan
surat Yunus [10] ayat 92:
“Maka pada hari ini kami
selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajarn bagi orang-orang yang
datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lenyap lengah dari
tanda-tanda kekuasaan kami”. (Q.S. Yunus: 92)
Pada ayat itu ditegaskan bahwa
badan Fir’aun tersebut akan diselamatkan Tuhan untuk menjadi pelajaran generasi
bagi berikutnya. Tidak seorangpun mengetahui hal tersebut, karena telah terjadi
sekitar 1.200 tahun S.M. pada awal abad ke-19, tepatnya pada tahun 1898, ahli
purbakala Loret menemukan dilembah raja-raja Luxor Mesir, suatu mumi, yang dari
data-data terbukti bahwa ia adalah Fir’aun yang bernama Muniftah dan yang
pernah mengejar Nabi Musa a.s. Selain itu, pada tanggal 8 Juli 1908, Elliot
Smith mendapat izin dari pemerintah Mesir untuk membuka pembalut-pembalut
Fir’aum tersebut. Apa yang ditemukannya adalah salah satu jasad utuh, seperti
yang diberikan oleh Alquran melalui Nabi yang ummy (tidak pandai membaca dan menulis).[14]
Berita-berita ghaib yang
terdapat pada wahyu Allah, yakni Taurat, Injil dan Alquran, merupakan mukjizat.
Berita ghaib dalam wahyu Alah itu membuat
manusia takjub karena akal manusia tidak sampai pada hal tersebut. Salah
satu mukjizat Alquran adalah bahwa
didalamnya banyak sekali terdapat ungkapan dan keterangan yang rahasianya baru
terungkap oleh ilmu pengetahuan dan sejarah pada akhir abad ini, makna yang
terkandung didalamnya sama sekali tidak terbayangkan oleh pikiran orang yang
hidup pada masa Alquran diturunkan.
Cerita peperangan Romawi dengan
Persia yang dijelaskan dalam surat Al-Rum [30] ayat 1-5 merupakan salah satu
berita gaib lainnya yang disampaikan Alquran:
“Alif Laam Miim. Telah dikalhkan
bangsa Romawi, dinegeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan
menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah
(mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah
orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan dialah yang Mahaperkasa lagi Maha penyayang.” (Q.S. Arrum: 1-5)
Pada abad kelima dan keenam
Masehi, terdapat adikuasa, Romawi yang beragama Kristen dan Persia yang
menyembah api. Persaingan antara keduanya dalam merebut wilayah dan pengaruh
amat keras. Sejarawan menginformasikan bahwa pada tahun 615 M terjadi
peperangan antara kedua adikuasa itu yang berakhir dengan kekalahan Romawi.
Ketika itu, kaum musyrikin di Mekkah mengejek kaum muslimin yang cenderung
mengharapkan kemenangan Romawi yang beragama samawi itu atas Persia yang
menyembah api. Kekesalan mereka akibat kekalahan tersebut bertambah dengan
ejekan ini maka turunlah ayat ditas pada tahun kekalahan itu, menghibur kaum
muslimin dengan dua hal:
Pertama, Romawi akan
menang atas Persia pda tenggang waktu yang diistilahkan Alquran dengan “bidh
sinin” yang diterjemahkan dengan beberapa tahun.
Kedua. Saat
kemenangan tiba, kaum muslimin akan bergembira, bukan saja dengan kemenangan
Romawi, tetapi juga dengan kemenangan yang dianugrahkan Allah.
Ternyata, pemberitahuan itu
benar, karena sejarah menginformasikan bahwa tujuh tahun setelah kekalahan
Romawi—tepatnya pada tahun 622 M—terjadi lagi peperangan antara kedua adikuasa
tersebut, dan kali ini pemenangnya adalah Romawi.
6. Isyarat-Isyarat Ilmiah
Banyak sekali isyarat ilmiah
yang ditemukan dalam Alquran. Misalnya:
a.
Cahaya metahari bersumber dari dirinya dan cahaya bulan merupakan
pantulan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah:
“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya munzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan itu, supaya
kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan
yang demikian itu, melainkan dengan hak, Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui” (Q.S. Yunus [10]: 5)
b.
Kurangnya oksigen pada ketinggian dapat menyesakkan napas. Hal itu
diisyaratkan oleh firman Allah:
“Barang siapa yang Allah
menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya
untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah
kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah
ia sedang mendaki kelangit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang yang
tidak beriman.” (Q.S. Al-An’am [6]: 125)
c.
Perbedaan sidik jari manusia, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah:
“Bukan demikian, sebenarnya Kami
kuasa menyusun (kembali) jari jemarinya dengan sempurna” (Q.S. Al-Qiyamah [75]:
4)
d.
Aroma/bau manusia berbeda-beda, sebagaimana firman diisyaratkan firman
Allah:
“Tatkala kafilah itu telah keluar (dari negeri
Mesir) berkata ayah mereka, ‘sesungguhnya aku akan mencium bau yusuf, sekiranya
kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu akan membenarkan aku).” (Q.S Yusuf
[12]: 94)
e.
Masa penyusuan ideal dan kehamilan minimal, sebagaimana diisyaratkan
firman Allah:
“Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bayi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan
yang ma’ruf.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 233)
f.
Adanya nurani (superego) dan bawah
sadar manusia, sebagaimana diisyaratkan firman Allah:
“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya
sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasan” (Q.S. Al-Qiyamah [75]: 14-15)
g.
Yang merasakan nyeri adalah kulit:
“Sesungguhnya orang-orang yang
kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka kedalam neraka.
Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang
lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Maha
bijaksana” (Q.S. An-Nisa’ [4]:56)
Meskipun Alquran menyimpan banyak
makna dan keilmuan, tapi masih banyak yang meragukannya, itu tak lain karena
kedangkalan pikiran yang kita miliki. Padahal jika kita mau berpikir mengenai
suatu ayat di dalam Alquran, kita akan menemukan banyak hal terkait ilmu
pengetahuan yang dibutuhkan oleh kehidupan umat manusia. Ada pula yang
beranggapan bahwa Al-Qur’an dan sains merupakan dua hal yang saling
membelakangi, padahal Al-Qur’an dan sains dua hal yang berkaitan dan akurat.
Melihat dua perbedaan tersebut,
manusia (para ilmuwan) mulai berpikir dan mencari berbagai bukti tentang
keilmiahan dan akurasi Alquran dengan sains. Ternyata hasilnya sangat
memuaskan, bahwa Alquran dan sains merupakan dua hal yang berirama dan terpadu.
Bukti-bukti keilmiahan Alquran tersebut
perlu kita ketahui dari berbagai sisi dan bidang keilmuan.[15]
Selain Al-Qur’an menyimpan banyak
makna terkait kedokteran, Al-Qur’an sendiri merupakan suatu bagi umat manusia. Itu sebagaimana firman
Allah Swt. dalam surah al-Isra’ [17]: 82.
“Dan kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang
menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman, dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada
orang-orang zalim kecuali kerugian”.
Sudah cukup jelas Allah Swt.
telah mengingatkan umat manusia bahwa Alquran menjadi bagi umat manusia, dan kerugian yang teramat
besar bagi mereka yang zalim, baik pada diri mereka sendiri atau orang lain
dengan tidak mengindahkan Alquran sebagai penuntun kehidupan.
Selain itu, Al-Qur’an juga berbicara
tentang alam semesta, yang meliputi bumi dan langit, unsur-unsurnya yang
beranika ragam, para penghuninya, serta fenomena-fenomena di dalamnya. Lebih
dari seribu ayat berbicara tentang hal ini guna membuktikan kekuasaan, ilmu,
dan kebijaksanaan tak terbatas Sang Pencipta, yang mampu menciptakan jagat raya
ini, melenyapkannya, lalu mengembalikannya ke bentuknya yang semula.[16]
E.
Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama
Para ulama telah berbeda
pendapat ketika menjelaskan aspek-aspek kemukjizatan
Alquran. Perbedaan pendapat itu dapat dilihat pada uraian berikut:
1.
Menurut Golongan Sharfah
Sampai menjelang abad III H.,
terma i’jaz masih dipahami oleh para
ulama sebagai keunikan Alquran yang tidak dapat ditiru oleh siapapun. Namun,
berkat pengaruh Al-Jahiz, seorang tokoh Mu’tazilah, terma itu belakangan lebih
dispesifikkan pada gaya retorika Alquran. Pada perkembangan selanjutnya,
seorang tokoh Mu’tazilah lainnya, yakni Abu Ishaq Al-Nazhzham (w. 231 H.). dan
tokoh Syi’ah, yakni Al-Murtadha, berpendapat bahwa kemukjizatan Alquran itu
disebabkan adanya shafah (pemalingan),
yakni Allah –sebagaimana didefinisikan An-Nazhzham—telah memalingkan manusia
untuk menantang Alquran dengan cara menciptakan kelemahan padanya sehingga
tidak dapat mendatangkan suatu yang sama dengan Alquran. Seandainya Allah tidak
memalingkan manusia, menurut AN-Nizhzham, pasti manusia mampu menandingi Alquran.
Sementara itu, Al-Murtadha menjelaskannya bahwa Allah telah mencabut ilmu yang
dibutuhkan dalam bertanding.
Padangan seperti ini mendapat
dukungan pula dari tokoh Mu’tazilah lainnya seperti Hisaya Al-Fawaitu (w. 218
H.), ‘Abbad bin Sulaiman (w. Abad ke 3 H.), Abu Hasan ‘Ali bin ‘Isa Ar-Rumani.
Dan Ibn Hazm Al-Andulusi (dari golongan Azh-Zhahiri). Ibn Hzm lebih jauh
berpendapat bahwa ketika berfirman, Allah memberi daya yang melemahkan manusia
untuk menandingi Alquran. Sementara itu, ‘Ali bin Isa Ar-Rmani melihat lebih
jauh lagi, takni bahwa Allah telah mengalihkan perhatian umat manusia sehingga
mereka tidak mempunyai keinginan menyusun suatu karya untuk menandingi Alquran.
Membuat orang tidak tertarik melakukan rivalitas terhadap kitab suci ini
merupakan sesuatu yang luar biasa.
Pendapat tokoh-tokoh besar
Mu’tazilah itu tidak terlepas dari penghargaan mereka terhadap kemampuan akal
manusia. Akan tetapi, pendapat diatas kemudian dikritik keras oleh para ulama
di luar Mu’tazilah, dan juga dari sebagian ulama Mu’tazilah sendiri yang
melihat kemukjizatan Alquran dari
sudut informasi-informasi ajarannya, ilustrasi, dan kebahasaannya.
Para ulama yang membantah paham
sharfah menjelaskan bahwa paham ini
telah menuduh Tuhan menantang seseorang yang berbicara, tetapi lidah orang itu
terlebih dahulu dipotong (dilemahkan) oleh-Nya. Padahal, jika dirunut dari
latar belakang teks-teks tentang tahaddi (tantangan
) Alquran, jelaslah bahwa kaum kafir Quraisy pada saat itu merasa mampu
mendatangkan kitab serupa Alquran meskipun nyatanya tidak berdaya atau tidak
berhasil. Pandangan sharfah ini,
menurut mereka, mengimplikasikan pandangan bahwa sebenarnya kemukjizatan Alquran bukan karena esensi
(dzat)-nya, tetapi karena ada faktor lain. Yakni pemalingan potensi manusia
oleh Tuhan. Dengan kata lain, paham ini menjelaskan bahwa Alquran bukan mu’jizat dztini, tetapi mu’jizat ghairihi.
Secara rinci, Ar-Zarkasyi
mengemukakan kelemahan argumen An-Nazhzham dan Ar-Rumani diatas, sebagai
berikut.
1.
Firman Allah pada surat Al-Isra’ (17) ayat 88 memperlihatkan kelemahan
bangsa Arab menyusun karya besar yang sejajar dengan Alquran. Kalau Allah
melarang mereka, maka yang mu’jiz (melemahkan)
itu bukan Alquran, tetapi justru Allah sendiri. Padahal, ayat itu menantang
mereka menyusun karya yang sejajar dengan Alquran, bukan untuk menandingi
kebesaran tuhan.
2.
Masyarakat Arab pada saat itu mungkin saja mampu membuat karya spesifik
yang pembahasannya sama dengan Al-Qur’am, tetapi mereka akan sangat mengalami
kesukaran menandingi isi dan ilustrasinya.
3.
Alquran mengemukakan hal-hal ghaib yang akan terjadi pada masa yang akan
datang dalam kehidupan dunia ini, disamping berita-berita alam akhirat yang
akan dialami umat manusia kelak. Segala yang dikemukakan Alquran tersebut
kemudian terbukti dalam perjalanan hidup manusia ini. Misalnya, Allah
memberitakan dalam surat An-Nur [24] ayat 55 bahwa umat Islam akan menjadi
adikuasa didunia ini. Dan hal itu benar-benar telah terjadi ketika Dinasti
‘Abbasiyah berada pada masa kejayaannya dan ketika muncuk tiga kerajaan besar,
yaitu Mughal di India, Safawi di Persia, dan Turki Utsmani di Turki antara abad
15-17 M. Alquran juga memberitakan pada surat Ar-Rum [30] ayat 1-2 bahwa kerajaan
Romawi timur akan hancur. Ini terbukti pada abad 14 M., pasca ‘Abbasiyyah, pada
masa kekuasaan Turki Utsmani.
4.
Alquran juga mengemukakan kisah-kisah lama yang tidak terangkat dalam
cerita-cerita rakyat Arab, seperti kisah Nabi Nuh, Nabi Luth, Nabi Musa dan
Harun, serta kisah-kisan nabi lain dan perlawanan masyarakatnya terhadap dakwah
mereka, dan akibat-akibat perlawanan tersebut.
Beberapa karakter inilah yang
memperkuat alasan bahwa kemukjizatan Alquran bukan terletak pada kekuasaan Allah,
tetapi karena justru Alquran sendiri yang mempunyai kekuatan sedemikian rupa,
sehingga masyarakat Arab tidak mampu menciptakan karya yang setara. Oleh sebab
itu, pernyataan orang-orang Mu’tazilah yang menyetarakan Alquran dengan buku Ad-Durar dan At-Talamiyah karya Ibn Al-Muqaffa’ adalah sangat keliru dan sesat.
Kedua karya tersebut menurut Al-Baqilani amat jauh dibandinkan dengan Alquran
dari segi ini, ilustrasi, dan pembahasan.
2.
Menurut Imam Fakhruddin
Aspek kemukjizatan Alquran
terletak pada kefasihan, keunikan redaksi, dan kesempurnaannya dari segala
bentuk cacat. Sementara itu, menurut Az-Zamlakani, aspek kemukjizatannya
terletak pada penyusunan yag spesifik.
3.
Menurut Ibn ‘Athiyyah
Yang benar dan yang dianut oleh
mayoritas ulama—di antaranya Al-Haddaq—aspek kemukjizatan Alquran itu terletak
pada runtutannya, makna-maknanya yang dalam, dan kata-katanya yang fasih. Hal
tersebut tidak perlu diherankan karena Alquran merupakan firman Allah, Zat Yang
Maha Mengetahui. Alquran sungguh diliputi oleh pengetahuan-Nya. Bila
urutan-urutan ayatnya dicermati, tampaklah keserasian antara satu ayat dengan
ayat yang mengiringinya. Serasi pula antara makna satu ayat dengan ayat yang
mengiringinya. Serasi pula antara makna satu ayat dengan ayat yang
mengiringinya. Begitulah yang terjadi pada Alquran mulai pembuka sampai
penutupnya. Mengingat manusia diliputi oleh kebodohan dan kealpaan, tidak ada
seorang pun dapat melakukan hal yang sama dengan Alquran.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, diketahui bahwa Alquran merupakan
mukjizat yang tak terbantahkan. Mukjizat di sini berarti sesuatu luar biasa yang diperlihatkan oleh
Allah melalui para nabi dan rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran pengakuan
kenabian dan kerasulannya. Kemukjizatan Alquran bersifat abadi, tidak sepintas
dan dibatasi oleh masa.
Memang Alquran tidak bisa
digunakan untuk menghidupkan kembali orang mati, seperti halnya mukjizat yang
dianugerahkan kepada Nabi Isa yang mampu mengembalikan roh yang sudah terhempas
dari raga. Namun demikian, ia merupakan mukjizat sejati. Alquran menjadi
pegangan hidup (way of life) tanpa
tergerus oleh perkembangan
zaman.
Sebagai way of life, Alquran sendiri telah menampakkan kemukjizatannya.
Segi-segi kemukjizatan Alquran, dapat dicermati dari gaya bahasa, susunan
kalimat, hukum ilahi yang sempurna darinya, ketelitian
redaksinya, kandungan berita hal-hal yang ghaib, dan isyarat-isyarat ilmiah.
Hingga saat ini, dan sampai kapan
pun, kemukjizatan Alquran tak tertandingi. Bahkan, para ilmuan Barat tak
sedikit yang mengakui betapa Alquran menjadi sumber ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kecanggihan
sains, tak sedikit yang terinspirasi dari ayat-ayat suci Alquran.
B.
Saran-Saran
1. Bagi penulis, menyusun
naskah yang berkaitan dengan mukjizat Alquran tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Penulis menyarankan pada diri sendiri, agar selalu melakukan muhasabah
dan refleksi terhadap ayat-ayat suci Alquran.
2. Bagi pegiat kajian Alquran,
tak boleh ada kata menyerah untuk menyelami lautan ilmu yang terkandung dalam
Alquran. Semakin ia diselami, maka berlian dunia-akhirat dipastikan akan
didapatkan.
DAFTAR RUJUKAN
Al-Munawwar, Said Agil Husain.
1994. I’jaz Al-Quran, dan Metodologi
Tafsir. Semarang: Dimas.
Al-Qattân, Mannâ’ Khalîl. 2013. Studi Ilmu-ilmu Qur’ân. Terj. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera
AntarNusa.
Anwar,
Rosihon. 2013. Ulum Al-Quran. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Fathani, Abdul Halim. 2011. Mukjizat Angka di Dalam Al-Qur’an. Jakarta: QultumMedia.
Hidayat, Komaruddin “Menggali Kemukjizatan Alquran”,
dalam Thalbah, Hisham. 2008. Ensiklopedia
Mukjizat Alquran dan Hadis, I, Bekasi: Sapta Sentosa.
Horriyah. 2011. Kisah-Kisah
Sangat Misterius Super Inspiratif dalam Al-Qur’an. Jogjakarta: Bening.
Murad,
Musthafa. 2007. ‘Umar ibn al-Khaththâb. Dar
al-Fajr, ttp.
Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Meraih Cinta Ilahi; Pencerahan Sufistik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Shihab, M
Quraish. 2004. Mukjizat Al-Quran, Bandung:
Mizan.
[1] Umar bin Khattab mendapatkan lembaran Alquran,
bermula dari kemarahannya mendapatkan informasi betapa saudarinya, Fatimah,
sudah berpaling dari agama nenek moyang. Dan Umar menjumpai Fatimah dan
suaminya di rumahnya sedang belajar mengaji Alquran kepada Khabbab bin Art. Di
sinilah terjadi pemukulan dan penamparan yang dilakukan Umar terhadap Fatimah
dan suaminya, hingga berdarah. Mencermati mulut Fatimah berdarah dan tetap
teguh melantangkan kalimat syahadat, hati Umar pun terenyuh dan mendapat
hidayah usai membaca lembaran Alquran yang ia minta ke Fatimah. Mengenai
perjalanan hidup Umar ini, bisa didalami dalam Musthafa Murad, ‘Umar ibn al-Khaththâb
(Dar
al-Fajr, ttp., 2007).
[2] Komaruddin
Hidayat, “Menggali Kemukjizatan Alquran”, dalam Hisham Thalbah, Ensiklopedia
Mukjizat Alquran dan Hadis, I (Bekasi: Sapta Sentosa, 2008) , viii. Buku ini terbilang bagus. Di dalamnya menampilkan aspek-aspek
kemukjizatan Alquran dari beragam aspek:
arkeologi, biologi, geografi, medis, sains, dan lainnya. Semuanya terkumpul
dalam 10 jilid yang berkaitan dengan beragam aspek kehidupan: fakta sejarah,
penciptaan manusia, -an dan makanan, psikoterapi Islam, penciptaan hewan,
tumbuhan dan buah-buahan, sastra dan bahasa, penciptaan bumi, penciptaan alam
semesta, dan angka. Masing-masing jilid ditulis oleh beberapa pakar di
bidangnya yang memiliki otoritas keilmuan sehingga semua informasi dan
analisisnya bisa dipertanggungjawabkan.
[3] Pengertian
ini, dapat ditelusuri dalam M Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran (Bandung: Mizan, 2004), 23. Pakar Alquran lainnya, Rosihon
Anwar, juga menukil pengertian yang diberikan oleh Shihab ini. Telusuri dalam
Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran
(Bandung: CV
Pustaka Setia, 2013).
[6] Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Studi
Ilmu-ilmu Qur’ân, terj. Mudzakir AS, Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2013,
371.
[12] Terdapat buku yang secara khusus mengungkap secara
detail mukjizat angka yang terdapat dalam Alquran. Temukan dalam Abdul
Halim Fathani, Mukjizat Angka di Dalam
Al-Qur’an (Jakarta: QultumMedia, 2011).
[13] Ada dua macam ghaib, yaitu ghaib
mudhâfî dan ghaib muthlaq. Ghaib mudhâfî adalah
sesuatu yang relative di suatu waktu dan tempat. Misalnya, orang yang tidak
hadir di suatu pertemuan, berarti ia ghaib di tempat itu. Sedangkan ghaib muthlaq adalah sesuatu yang tidak bisa
diamati oleh panca indera dalam situasi apa pun. Menurut Alquran (Surat Qaf:
21-22), sebetulnya sesuatu yang ghaib adalah sesuatu yang tertutup tirai, yang
menghalangi mata. Temukan dalam Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi; Pencerahan Sufistik (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2005), 419.
[14] Selain kisah-kisah para nabi, dalam Alquran juga terdapat
kisah-kisah ghaib lainnya. Seperti tiga pemuda yang dikirim ke kota yang
terdapat dalam Surat Yasin, kisah Thalut, srta kisah Ya’juj dan Ma’juj. Temukan
dalam Horriyah, Kisah-Kisah Sangat
Misterius Super Inspiratif dalam Al-Qur’an (Jogjakarta: Bening, 2011).
[15] Salah satu karya terbaru yang mengulas secara rinci dan luas terait bukti
keilmiahan Alquran dengan sains adalah karya Nadiah Thayyarah. Misalkan ilmu yang sangat dibutuhkan oleh umat manusia yaitu di bidang
kedokteran, dengan jelas Allah telah menyebutnya di dalam Al-Qur’an. Temukan
dalam Nadiah Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam Al-Qur’an (Jakarta: Zaman, 2013), 23.
[16] Nadiah Thayyarah, Buku Pintar
Sains, 328.