Sabtu, 26 Oktober 2013

TURUNNYA AL QUR'AN DENGAN TUJUH HURUF


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 
Al-Quran merupakan pedoman umat Islam yang berisi petunjuk dan tuntunan komprehensif guna mengatur kehidupan di dunia dan akhirat. Ia merupakan kitab otentik dan unik, yang mana redaksi
, susunan maupun kandungan maknanya berasal dari wahyu, sehingga ia terpelihara dan terjamin sepanjang zaman. Sulit dibayangkan sekiranya umat Islam tidak memiliki al-Qur’an. Padahal ia adalah umat terakhir, umat yang diutus Allah sebagai saksi atas perbuatan semua manusia, dan umat terbaik yang rasulnya menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Atau sulit dibayangkan sekiranya al-Qur’an yang ada di tangan umat ini bukan berasal dari ‘Tangan’ Zat yang maha mengetahui segala sesuatu yang gaib dan yang zahir. Fenomena al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw ternyata bagaikan magnet yang selalu menarik minat manusia untuk mengkaji dan meneliti kandungan makna dan kebenarannya. Al-Qur’an yang diturunkan atas tujuh huruf (sab’at ahruf) menjadi polemik pengertiannya di kalangan ulama, polemik ini bermuara pada pengertian sab’ah dan ahruf itu sendiri, dan korelasinya dengan cakupan mushaf Usman. Apabila orang arab berbeda lahjah dalam pengungkapan sesuatu makna dengan perbedaan tertentu, maka Qur'an yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad , menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan wajah qiraah pilihan diantara lahjah-lahjah itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tujuh huruf menurut para ulama?
2. Apa perbedaan ahruf sab’ah dengan qiraat sab’ah?
3. Bagaimana dalil Al-Qur’an turun dengan tujuh huruf (sab’ah ahruf)?
4. Hikmah apa saja yang terkandung dalam Al-Qur’an yang turun dengan tujuh huruf?

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Tujuh Huruf Menurut Para Ulama
Tidak terdapat nas sarih yang menjelaskan maksud dari sab’at ahruf. Sehingga menjadi hal yang lumrah kalau para ulama,-berdasarkan ijtihadnya masing-masing, berbeda pendapat dalam menafsirkan pengertiannya. Ibn Hibban al-Busti (w. 354 H) sebagaimana dikutip al-Suyuti mengatakan bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini sampai tiga puluh lima pendapat. Sementara al-Zarqani dalam kitabnya hanya menampilkan sebelas pendapat secara detail dari perbedaan-perbedaan ulama tersebut. Perbedaan ulama mengenai pengertian sab’at ahruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi mereka atas hadis-hadis tentang tema dimaksud. Perbedaan itu justru muncul dari lafaz sab’at dan ahruf yang masuk kategori lafaz-lafaz musytarak, yaitu lafaz-lafaz yang mempunyai banyak kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis penafsiran. Selain itu juga disebabkan adanya fenomena historis tentang periwayatan bacaan al-Qur’an yang memang beragam. Berikut ini sebagian dari pendapat-pendapat tersebut:

1. Sebagai tujuh bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya

Al-Tabari, dan jumhur ulama fiqh, dan hadis mengartikan sab’at ahruf sebagai tujuh bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya. Dengan bahasa lain, sab’at ahruf di sini dapat diartikan tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang lafaz-lafaz tertentu yang berbeda lafaznya tetapi sama maknanya, seperti lafaz halumma, qasdi, ta’al, nahwi, dan aqbil. Meskipun kata-kata tersebut berbeda dalam pelafalan namun maknanya satu, yaitu perintah untuk datang. Al-Tabari, dan ulama yang sepakat dengannya mendasarkan pendapatnya ini pada hadis Abu bakrah yang meriwayatkan permintaan Rasulullah kepada Jibril untuk memberikan alternatif pembacaan al-Qur’an lebih dari satu. Alasan lain adalah hadis Anas yang membaca Q.S. al-Muzammil (73): 6, dengan bacaan أشد وطأ وأقوم قيلا ketika ditanya tentang bacaannya tersebut, Anas menjawab bahwa lafaz أصوب أقوم أهياء adalah satu arti. Begitu pula hadis yang diirwayatkan Ubay ibn Ka’ab yang membaca surat al-Baqarah: 20 dengan tiga variasi bacaan. Namun demikian tidak semua makna mempunyai tujuh lafaz yang senada dengan makna tersebut. Tetapi semua makna yang bisa diwakili oleh suatu lafaz, lafaz ini sajalah yang dipakai. Adapun jika ungkapan makna itu bisa diwakili dengan dua lafaz, maka dua lafaz inilah yang dipakai, begitu seterusnya hingga tujuh lafaz Riwayat dan dalil-dalil yang dikemukakan di atas tidak hanya dipegangi oleh ulama-ulama zaman klasik dan pertengahan semacam al-Tabari, Sufyan ibn Uyainah, Ibn Wahb, Khalaiq, dan al-Tahawi, tetapi diikuti pula oleh penulis-penulis kontemporer semisal Manna’ al-Qattan, Abd al-Mun’im al-Namr, Abd al-Sabur Syahin, Umar Shihab, dan Hasbi ash-Shiddieqy. umar shihab berkata: “…perbedaan yang dapat diterima hanyalah perbedaan bahasa yang semakna”. Sedangkan T.M. Hasby Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa Al-Qur’an diturnkan dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh suku quraisy dan suku-suku lainnya di tanah arab sehingga hasillah bagi Al-Qur’an beberapa macam bunyi lahjah. Sedangkan lahjah yang biasa dipakai di tanah arab ada tujuh macam. Manna’ al-Qattan misalnya berkata: “Bahwa yang dimaksud dengan huruf-huruf yang tujuh adalah tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang makna yang sama”. Dalam membangun argumentasi, al-Tabari tidak hanya mendasarkan kepada teks-teks kitab suci, alasan-alasan rasionalpun ia pergunakan untuk memperkuat pendapatnya ini. al-Tabari berpendapat bahwa perbedaan yang terjadi di antara sahabat dalam pembacaan al-Qur’an hanya sebatas perbedaan lafaz bukan pada perbedaan makna, karena menurutnya tidak mungkin Rasulullah membenarkan semua yang diperselisihkan sahabat bila yang diperselisihkan itu berkaitan dengan masalah makna (hukum) seperti mengenai halal-haram, janji dan ancaman, dan sebagainya. Ini sebagai bukti bahwa perbedaan yang ada hanya pada pelafalan bahasa atau dialek al-Qur’an yang telah diajarkan Rasulullah kepada para sahabat. Ibn Kasir mengutip perkataan al-Tahawi dan yang lainnya, “Bahwasanya adanya tujuh huruf itu adalah sebagai rukhsah (dispensasi) agar orang-orang boleh membaca al-Qur’an dalam tujuh bahasa”. Hal ini berlaku tatkala kebanyakan orang Islam kesulitan untuk membaca dalam bahasa Quraisy dan bacaan Rasulullah, dikarenakan keterbatasan kemampuan yang dimiliki sebagian umat Islam saat itu.

2. Sab’at ahruf sebagai tujuh bentuk (awjuh) perubahan
Pendapat kedua, Ibn Qutaibah menafsirkan sab’at ahruf dengan tujuh bentuk (awjuh) perubahan, yaitu: a. Perbedaan dalam I’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah pada surat An-nisa’ ayat 37 tentang pembacaan “Bil Buhkhli” (artinya kikir), disini dapat dibaca dengan harakat “Fatha” pada huruf Ba’-nya, sehingga dibaca Bil Bakhli, dapat pula dibaca “Dhommah” pada Ba’-nya, sehingga menjadi Bil Bukhli. b. Perbedaan I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya, misalnya pada firman Allah surah Saba’ ayat 19, yang artinya “ Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami “. Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah “ba’id karena statusnya fi”il amar, maka boleh juga dibaca ba’ada yang berarti kedudukannya menjadi fi’il mahdhi artinya telah jauh c. Perbedaan pada perubahan huruf tanpa perubahan I’rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 259, yang artinya “……dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian kami menyusunnya kembali.” Di dalam ayat tersebut terdapat kata “nunsyizuhaa” artinya (kemudian kami menyusun kembali), yang ditulis dengan huruf Zai (ز) diganti dengan huruf ra’ ( ر ) sehingga berubah bunyi menjadi “nunsyiruha” yang berarti (kami hidupkan kembali). d. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah dalam surah Al-Qoria’ah ayat : 5, yang artinya “……..dan gunung-gunung seperti bulu yang dihamburkan “. Dalam ayat tersebut terdapat bacaan “kal-ih-ni” dengan “ka-ash-shufi” sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba. e. Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada ungkapan “thal in mandhud” menjadi “thalhin mandhud” f. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkannya, misalnya pada firman Allah dalam surah Qof ayat : 19, yang artinya “dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya”. Menurut suatu riwayat Abu Bakar pernah membacanya menjadi “wa ja’at sakrat al-haqq bin al-maut. Ia menggeser kata “al-maut” ke belakang dan memasukkan kata “al-Haq”. Sehingga jika diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi “dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian”. g. Perbedaan dengan menambahi dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah dalam surah al-Baqarah: 25, yang artinya “…surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.” Dalam ayat tersebut terdapat kata “min”, kata ini dibuang pada ayat serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa menjadi tanpa “min” dan sebaliknya pada ayat lain yang serupa tidak terdapat “min” justru ditambah.

3. Sab’at ahruf adalah tujuh bahasa bagi tujuh kabilah Arab
Kelompok ini mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah tujuh bahasa bagi tujuh kabilah Arab. Tujuh bahasa ini adalah tujuh bahasa yang paling fasih di antara suku-suku Arab, yang terbanyak adalah bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Pendapat ini dibenarkan oleh al-Baihaqi dan al-Abhari. Ibn Mansur al-Azhari (w. 370 H) menyebutkan bahwa pendapat ini sebagai pendapat yang mukhtar, dengan alasan perkataan Usman ketika menyuruh mereka menulis mushaf, “Dan sesuatu yang yang kamu perselisihkan antara kamu dan Zaid, maka kamu tulislah dengan bahasa Quraisy, karena al-Qur’an banyak turun dengan bahasa mereka”. Dari penelitian al-Sijistani mengenai bahasa al-Qur’an ternyata ditemukan lebih banyak dari bahasa-bahasa yang sudah disebutkan di depan, ia menyebutkan sekitar dua puluh delapan bahasa, sementara Abu Bakr al-Wasiti menyebutkan empat puluh bahasa, termasuk bahasa di luar rumpun bahasa Arab, seperti Nabat, Barbar, Suryani, Ibrani, dan Qibti.

4. Sab’at Ahruf yang sebagai sesuatu tidak dapat dipahami makna sebenarnya
Qadi ‘Iyad, dan ulama yang sepakat dengannya menganggap pengertian sab’at ahruf yang terdapat dalam hadis Nabi sebagai sesuatu yang pelik dan tidak dapat dipahami makna sebenarnya. Sebab kata ahruf termasuk lafaz musytarak yang secara literal (harfiyah) dapat berarti ejaan, kata, makna, sisi, ujung, bentuk, bahasa, dan arah. Sementara kata Sab’ah ada yang mengartikannya tidak dengan bilangan tujuh yang sebenarnya. Akan tetapi maksudnya hanyalah untuk memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi umat. Sebab kata sab’ah digunakan untuk menunjukkan arti banyak (kasrah) dalam hal satuan, sebagaimana kata sab’un dalam hal puluhan dan sab’umiyah dalam hal ratusan. Dengan demikian kata sab’ah (tujuh) di sini tidak dimaksud bilangan tertentu. 5. Sab’at ahruf adalah qira’at sab’ah. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah qira’at sab’ah. Ada yang menegaskannya dengan tujuh qira’ah dari tujuh sahabat Nabi, yaitu Abu Bakr, Umar, Usman, ‘Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, dan Ubay Ibn Ka’ab, dan adapula pula yang menghubungkannya dengan qira’ah tujuh yang populer. Ibn al-Jazari mengemukakan bahwa sesungguhnya pendapat ini tidak diucapkan oleh seorangpun dari ulama-ulama, hanya pendapat ini merupakan perkataan yang memberatkan ulama dari dulu dalam menceritakan, membantah, dan menyalahkannya. Pendapat ini adalah suatu sangkaan orang-orang awam yang bodoh, tidak lain. Sesungguhnya mereka mendengar turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf dan tujuh riwayat, maka kemudian mereka menghayalkan hal tersebut. Hasbi ash-Shiddieqy menilai bahwa pendapat yang menyatakan bahwa sab’at ahruf sebagai sab’at qira’ah merupakan pendapat yang lemah. Pernyatan Hasbi ini memang beralasan, sebab sekalipun tujuh ahli qira’ah itu sangat berpengaruh dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, namun masih ada ahli qira’ah lain yang digunakan juga qira’ahnya. Qira’ah mutawatirah yang masyhur di kalangan umat Islam, tidak hanya qira’ah sab’ah. Dikenal pula qira’ah sittah, qira’ah asyrah, qira’ah ihda asyrah. Dengan demikian pendapat ini tidak diakui, karena tidak ada seorang ulamapun yang sepakat dengan pendapat ini.

B. Perbedaan Ahruf Sab’ah Dengan Qira’at Sab’ah
1. Pengertian Qira’at
Lafal Qira’at adalah bentuk jamak dari Qira’ah yang merupakan bentuk masdar dari Fi’il Madi Qara’a. Menurut bahasa qira’ah artinya becaan, para ahli mengemukakan menurut istilah secara berbeda-beda. a. Ibn Al Jarazi , mengemukakan bahwa qira’at merupakan pengetahuan tentang cara-cara mengucapkan kalimat-kalimat Al Qur’an dan perbedaannya. b. Al Shabani, mengemukakan bahwa Al Qur’an oleh seorang imam qara yang berbeda dengan (bacaan imam) lainnya.

2. Latar Belakang Adanya Perbedaan Qira’at
Orang yang pertama menyusun Qira’at adalah salah satu kitab Abu Ubaid Al- Qosim Ibn Salam (wafat tahun 244 H). Beliau telah mengumpulkan para imam qira’at dengan bacaannya masing-masing, para toko lain yang turut melopori lahirnya ilmu Qira’at adalah Abu Hatim Al-sijistany, Abu Ja’far al-Thabary dan Ismail al-Qodhi. Qira’at ini terus berkembang hingga sampailah pada Abu Bakar Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas Ibn mujahid yang terkenal dengan panggilan Ibn Mujahid (wafat tahun 324 H) di Bagdad. Beliaulah yang menyusun dan mengumpulkan Qira’ah sa’bah atau tujuh Qira’at dari tujuh imam yang dikenal di Mekkah, Madinah, Kufah, Basrah, dan Syam. Para tujuh imam dari Qari tersebut adalah :
a. Ibn Amir Nama lengkapnya Abdullah aal-Yashubi yang merupakan seorang Qodhi di Damaskus pada masa pemerintahan Ibn Abd al-Malik. Beliau berasal dari kalangan tabi’in yang belajar Qira’at dari al-Mughirah Ibn Abi Syihab al-Mahzumi, Usman bin Affan dan Rsulullah SAW. Beliau wafat tahun 118 H Damaskus. Muridnya yang terkenal dalam Qira’at yaitu Hisyam dan Ibn Szakwan.
b. Ibn Katsir Nama lengkapnya Abu Muhammad Abdullah Ibn Kastir Al-Dary al-Makky. Beliau adalah imam Qira’at di Mekkah dari kalangan tabi’in. Yang pernah hidup bersama sahabat Sbdullah Ibn Zubair, Abu Ayyub al-Anshari dan Annas Ibn Malik. Beliau wafat tahun 291 H, muridnya yang terkenal adalah Al-Bazy (wafat tahun 250 H) dan Qunbul (wafat tahun 291 H).
c. Ashim Al-Khufy Nama lengkapnya ‘Ashim Ibn Abi Al-Nujud M. Asadi disebut juga Ibn Bahdalan dan nama panggilannya adalah Abu Bakar, beliau seorang tabi’in yang wafat sekitar tahun 127-128 H di Kuffah. Kedua perawinya yang terkenal adalah Syu’ban (wafat tahun 193 H) dan Hafsah (wafat tahun 180 H).
d. Abu Amr Nama lengkapnya Abu Amr Zabban Ibn A’la Ibn Ammar al-Bashti yang sering juga dipanggil Yahya. Beliau seorang guru besar pada rawi yang wafat di Kuffah pada tahun 154 H.
e. Hamzah al-Kufy Nama lengkapnya Hamzah Ibn Habib Ibn Imarah al-Zayyat al-Fardh al-Thaimi yang sering dipanggil Ibn Imarah. Beliau berasal dari kalangan hamba sahaya ikrimah Ibn Robbi’ Mthaimi yang wafat di Hawan pada masa khalifah Abu Ja’far al-Manshur tahun 156 H. Kedua perawinya yang terkenal adalah khalaf (wafat tahun 229 H) dan Khallat (wafat tahun 220 H).
f. Imam Nafi Nama lengkapnya Abu Ruwaim Nafi Ibn Abd Al-Rahman Ibn Abi Na’im al-Laisry. Beliau berasal dari Isfahan dan wafat di Madinah pad tahun 169 H. Perawinya adalah Qolum (wafat tahun 220 H) dan Warassy (wafat tahun 197 H).
g. Al-Kisaiy Nama lengkapnya Ali Ibn Hamzah. Selain imam Qori beliau terkenal juga sebagai imam nahwu golongan Kufah. Nama panggilannya Abu al-Hasan dan sering juga disebut Kisaiy karena sewaktu berihram beliau memakai kisa. Beliau wafat pada tahun 189 H di Ronbawyan yaitu sebuah desa di negeri Roy dalam perjalanan menuju Khurasan bersama al-Rasyid. Perawinya yang terkenal adalah Abd al-Haris (wafat tahun 242 h) dan Al-Dury (wafat tahun 246 H).

3. Syarat-Syarat Qira’at Yang Mukhobar Dan Jenisnya
Syarat-syarat Qira’at yang muktabar :
a. Qira’at harus sesuai dengan bahasa Arab, walaupun hanya dalam satu segi.
b. Qira’at harus sesuai dengan tulisan (rasm) Usmany, sekalipun hanya dalam satu sisi.
c. Qira’at shahih sanadnya.
Jenis-jenisnya berdasarkan Qira’at yang shahih sanadnya :
a. Mutawatir yaitu Qiraat yang diriwayatkan dan diterima oleh sejumlah banyak orang.
b. Masyhur yaitu Qiraat dengan sanadnya yang shahih, namun jumlah periwayatannya tidak sampai sebanyak mutawatir.
c. Ahad yaitu Qiraat yang sanadnya shahih.
4. Pengaruh Qira’at Terhadap Istinbath
Perbedaan Qira’at dengan qira’at lainnya tidak hanya sebatas dalam perbedaan pengucapan lahjah saja, akan tetapi mencakup pula pada perbedaan huruf, kata, susunan kalimat, penambahan serta pengurangan dan sejenisnya. Qira’at ini menimbulkan banyak perbedaan. Sehinga turut mempengaruhi dalam mengistimbath hukum. Dalam melafalkan laamastum sebagian orang ada yang membaca panjang, dan ada yang membaca pendek. Menurut ilmu shorof kedua lafal tersebut memiliki arti yang berbeda. Lafal laamastum (dibaca panjang) yang artinya saling bersentuhan. Sedangkan lamastum (dibaca pendek) yang artinya menyentuh. Dilihat dari dua sisi, bacaan tersebut menimbulkan istinbath hukum yang berbeda. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan tidaklah membatalkan wudhu. Pengertian laa mastum 9dibaca panjang) menurut imam Hanafi artinya adalah ijma (hubungan suami istri) sedangkan menurut imam Maliki maksudnya dalah bersentuhan dengan disertai syahwat. Menurut mazhab Safi’i, sekedar bersentuhan kulit dengan lawan jenis diangap membatalkan wudhu. 5. Membuat Analis Tentang Al-Qur’an di Turunkan Dalam Tujuh Huruf dan Relevansinya Dengan Qira’at Sejak dibukukannya Qira’at sab’ah oleh imam Mujahid, orang-orang beranggapan bahwa yang dimaksud hadits Muhammad Saw. Yang menyatakan diturunkannya Al Qur’an atas Sab’ah Ahruf (tujuh huruf) adalah qiraan sab’ah yang dinukil dari imam tujuh yang terkenal dikalangan Qori. Anggapan seperti keliru, karena kedua istilah ini meiliki pengertian dan hakikat yang berbeda. Oleh karena itu, Abu Al-Abbas Ibn Ammar (wafat tahun 430 H), seorang Muari besar. Mencela keras Ibn Mujahid dan mengatakan bahwa usaha itu akan menimbulkan sangkaan bahwa Qira’at yang tujuh itulah yang dimaksud oleh Hadits. Dia mengatakan bahwa alangkah baiknya kalau dikumpulkan itu kurang atau lebih dari tujuh, supaya hilang dari kesamaran itu, Ash Shiddiqie (1972;133). Sekalipun ilmu Qira’at ini lahir dari kandungan sab’ah ahruf, namun keberadaan sab’ah ahruf secara mutlak lebih umum ketimbang Qira’at sab’ah.

C. Dalil mengenai Al-Qur’an turun dengan tujuh huruf (sab’ah ahruf)
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab yang jelas. Hal ini adalah suatu yang wajar karena Al-Qur’an diturunkan ketengah-tengah umat yang berbahasa arab melalui Nabi yang berbahasa arab sekalipun ini bukan berarti bahwa islam hanya untuk bangsa arab. Ada beberapa dalil Hadits yang menjelaskan bahwa al-Qur’a>n diturunkan dengan tujuh huruf. Antara lain :  حدّثَنا عبدُ اللهِ بنُ يوسُفَ أخبرَنا مالكٌ عنِ ابنِ شِهابٍ عن عُروةَ بنِ الزّبَيرِ عن عبدِ الرحمنِ بنِ عبدٍ القاريّ أنهُ قال: سمعتُ عمرَ بنَ الخَطّابِ رضيَ اللهُ عنهُ يقول: «سمعتُ هشامَ بنَ حَكيمِ بنِ حِزامٍ يَقرأُ سورةَ الفُرقانِ على غيرِ ما أقرَؤها، وكان رسولُ الله صلى الله عليه وسلّم أقرَأَنيها، وكِدْتُ أن أعجَلَ عليه، ثمّ أمهلتُهُ حتّى انصَرَفَ، ثمّ لبّبْتُهُ بردائِه فجئتُ بهِ رسولَ الله صلى الله عليه وسلّم فقلتُ: إني سمعتُ هذا يقرأُ على غيرِ ما أقرَأْتَنيها. فقال لي: أرسِلْهُ. ثمّ قال لهُ: اقرَأْ. فقرأَ. قال: هكذا أُنزِلَتْ. ثمّ قال لي: اقرَأْ. فقرأتُ. فقال: هكذا أُنزِلَتْ، إنّ القرانَ أُنزِلَ على سبعةِ أحرُفٍ، فاقرَؤوا منهُ ما تَيسّرَ». “Meriwayatkan yang lafazhnya dari Bukha>ri> bahwa; “Umar bin H{atta>b berkata: “Aku mendengar Hisha>m bin H{aki>m membaca surat al-Furqa>n di masa hidupya Rasulullah saw, aku mendengar bacaannya, tiba-tiba ia membacanya dengan beberapa huruf yang belum pernah Rasulullah saw membacakannya kepadaku sehingga aku hampir beranjak dari s{alat, kemudian aku menunggunya sampai salam. Setelah ia salam aku menarik sorbannya dan bertanya: “Siapa yang membacakan surat ini kepadamu?”. Ia menjawab: “Rasulullah saw yang membacakannya kepadaku”, aku menyela: “Dusta kau, Demi Allah sesungguhnya Rasulullah saw telah membacakan surat yang telah kudengar dari yang kau baca ini”. Setelah itu aku pergi membawa dia menghadap Rasulullah saw lalu aku bertanya: “Wahai Rasulullah aku telah mendengar lelaki ini, ia membaca surat al-Furqa>n dengan beberapa huruf yang belum pernah engkau bacakan kepadaku, sedangkan engkau sendiri telah membacakan surat al-Furqa>n ini kepadaku”. Rasulullah saw menjawab: “Hai ‘Umar! lepaskan dia. “Bacalah Hisha>m!”. Kemudian ia membacakan bacaan yang tadi aku dengar ketika ia membacanya. Rasululllah saw bersabda: “Begitulah surat itu diturunkan” sambil menyambung sabdanya: “Bahwa al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf maka bacalah yang paling mudah!”.  حدّثنا مُحمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللّهِ بْنِ نُمَيْرٍ . حَدَّثَنَا أَبِي. حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَنْ عَبْدِ اللّهِ بْنِ عَيسَى بْنِ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ جَدِّهِ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ: كُنْتُ فِي الْمَسْجِدِ. فَدَخَلَ رَجُلٌ يُصَلِّي. فَقَرَأَ قِرَاءَةٍ أَنْكَرْتُهَا عَلَيْهِ. ثُمَّ دَخَلَ آخَرُ. فَقَرَأَ قِرَاءَةً سِوَى قِرَاءَةِ صَاحِبِهِ. فَلَمَّا قَضَيْنَا الصَّلاَةَ دَخَلْنَا جَمِيعاً عَلَى رَسُولِ اللّهِ . فَقُلْتُ: إِنَّ هذَا قَرَأَ قِرَاءَةً أَنْكَرْتُهَا عَلَيْهِ. وَدَخَلَ آخَرُ فَقَرَأَ سِوَى قِرَاءَةِ صَاحِبِهِ. فَأَمَرَهُمَا رَسُولُ اللّهِ فَقَرَآ. فَحَسَّنَ النَّبِيُّ شَأْنَهُمَا. فَسُقِطَ فِي نَفْسِي مِنَ التَّكْذِيبِ. وَلاَ إِذْ كُنْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَلَمَّا رَأَى رَسُولُ اللّهِ مَا قَدْ غَشِيَنِي ضَرَبَ فِي صَدْرِي. فَفِضْتُ عَرَقاً. وَكَأَنَّمَا أَنْظُرُ إِلَى اللّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَرَقاً. فَقَالَ لِي: «يَا أُبَيُّ أُرْسِلَ إِلَيَّ: أَنِ اقْرَإِ الْقُرْآنَ عَلَى حَرْفٍ. فَرَدَدْتُ إِلَيْهِ: أَنْ هَوِّنْ عَلَى أُمَّتِي. فَرَدَّ إِلَيَّ الثَّانِيَةَ: اقْرَأْهُ عَلَى حَرْفَيْنِ. فَرَدَدْتُ إِلَيْهِ: أَنْ هَوِّنْ عَلَى أُمَّتِي. فَرَدَّ إِلَيَّ الثَّالِثَةَ: اقْرَأْهُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ. فَلَكَ بِكُلِّ رَدَّةٍ رَدَدْتُكَهَا مَسْأَلَةٌ تَسْأَلُنِيهَا. فَقُلْتُ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأُمَّتِي. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لأِمَّتِي. وَأَخَّرْتُ الثَّالِثَةَ لِيَوْمٍ يَرْغَبُ إِلَيَّ الْخَلْقُ كُلُّهُمْ. حَتَّى إِبْرَاهِيمُ ». “Diriwayatkan dengan sanadnya dari Ubay bin Ka’ab ia berkata: “Aku berada di masjid, tiba-tiba masuklah lelaki, ia shalat kemudian membaca bacaan yang aku ingkari. Setelah itu masuk lagi lelaki lain membaca berbeda dengan bacaan kawannya yang pertama”. Setelah kami selesai s{alat, kami bersama-sama masuk ke rumah Rasulullah saw, lalu aku bercerita: “Bahwa si lelaki ini membaca bacaan yang aku ingkari dan kawannya ini membaca berbeda dengan bacaan kawannya yang pertama”. Akhirnya Rasulullah saw memerintahkan keduanya untuk membaca. Setelah mereka membaca Rasulullah saw menganggap baik bacaannya. Setelah menyaksikan hal itu, terhapuslah dalam diriku sikap untuk mendustakan, tidak seperti halnya diriku ketika masa Jahiliyyah. Nabi menjawab demikian tatkala beliau melihat diriku bersimbah peluh karena kebingungan, ketika itu keadaan kami seolah-olah berkelompok-kelompok di hadapan Allah Yang Maha Agung. Setelah melihat saya dalam keadaan demikian, beliau menegaskan pada diriku dan berkata: “Hai Ubay! Aku diutus untuk membaca al-Qur’a>n dengan suatu huruf lahjah (dialek)”, kemudian aku meminta pada Jibril untuk memudahkan umatku, dia membacakannya dengan huruf kedua, akupun meminta lagi padanya untuk memudahkan umatku, lalu ia menjawab untuk ketiga kalinya. “Hai Muhammad, bacalah al-Qur’a>n dalam 7 lahjah dan terserah padamu Muhammad apakah setiap jawabanku kau susul dengan pertanyaan permintaan lagi”. Kemudian aku menjawabnya: “Wahai Allah! Ampunilah umatku, ampunilah umatku dan akan kutangguhkan yang ketiga kalinya pada saat dimana semua makhluk mencintaiku sehingga Nabi Ibra>hi>m as”.  حدثنا أَحْمَدُ بنُ مَنِيع أخبرنا الْحَسَنُ بنُ مُوسَى أخبرنا شَيْبَانُ عن عَاصِمٍ عن زِرِّ بنِ حُبَيْشٍ عن أُبيِّ بنِ كَعْبٍ ، قالَ: «لَقِيَ رَسُولُ الله جِبْرَيلَ، فَقَالَ: «يَا جِبْرَيلُ إِنِّي بُعِثْتُ إِلَى أُمَّةٍ أُمِّيينَ مِنْهُمْ العَجُوزُ وَالشَّيْخُ الكَبِيرُ وَالغلاَمُ وَالْجَارِيَةُ وَالرَّجُلُ الَّذِي لَمْ يَقْرَأْ كِتَاباً قَطُّ،» قالَ: يَا مُحمَّدُ إِنَّ القُرآنَ أُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ» . قال أبو عيسى: هذا حديثٌ حسنٌ صحيحٌ وقدْ رُوِي مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ عن أُبيِّ بنِ كَعْبٍ. “Riwayat Ubay bin Ka’ab, ia mengatakan: “Rasulullah saw berjumpa dengan Jibri>l di gundukan Marwah”. Ia (Ka’ab) berkata: “Kemudian Rasul berkata kepada Jibri>l bahwa aku ini diutus untuk ummat yang ummy (tidak bisa menulis dan membaca). Diantaranya ada yang kakek-kakek tua, nenek-nenek bangka dan anak-anak”. Jibri>l menjawab: “Perintahkan, membaca al-Qur’a>n dengan tujuh huruf”. Imam al-Turmudhy mengatakan: “Hadits ini hasan lagi shahih”. Dari beberapa Hadits yang disebutkan di atas, Tidak terdapat nas sarih yang menjelaskan maksud dari sab’ah ah{ruf. Sehingga menjadi hal yang lumrah kalau para ulama’, berdasarkan ijtihadnya masing-masing, berbeda pendapat dalam menafsirkan pengertiannya. al-Suyu>t{i> dalam kitabnya al-It{qa>n fi> al-’Ulu>m al-Qur’a>n mengatakan bahwa perbedaan ulama’ dalam masalah ini sekitar empat puluh pendapat. Perbedaan ulama’ mengenai pengertian sab’ah ah{ruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi mereka atas Hadits-Hadits tentang tema dimaksud. Perbedaan itu justru muncul dari lafaz{ sab’ah dan ah{ruf yang masuk kategori lafaz{-lafaz} mushtarak, yaitu lafaz{-lafaz{ yang mempunyai banyak kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis penafsiran. Selain itu juga disebabkan adanya fenomena historis tentang periwayatan bacaan al-Qur’a>n yang memang beragam. Rasulullah SAW bersabda, “Jibril telah membacakan Al-Quran kepadaku dalam satu huruf. Aku berulang-ulang membacanya. Selanjutnya aku selalu meminta kepadanya agar ditambah, sehingga ia menambahnya sampai tujuh huruf. (H.R. Bukhori Muslim). Kemudian, Rasul SAW berkata: “sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh ahruf ( huruf), maka baca kamulah mana yang mudah dari padanya”. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim). Hadits kedua ini berasal dari umar ibn al-khaththaab yang membawa Hisyam ibn Hakim ke hadapan Rasul karena membaca surat al-furqon dengan berbagai cara baca dan Rasul tidak pernah membacanya dengan cara itu kepada umar. Setelah hisyam memperdengarkan bacaanya kepada Rasul, Rasul berkata: “Demikianlah ia diturunkan” dan seterusnya menyambungnya dengan sabdanya di atas. Dengan demikian, jelaslah bahwa tidaklah benar anggapan orang bahwa Qiraat (macam-macam bacaan) Al-Quran itu diciptakan oleh Nabi Muhammad atau para sahabat, atau ulama tabi’in yang dipengaruhi oleh dialek bahasa kabilah-kabilah Arab. Dan jelas pula bahwa macam-macam bacaan Al-Quran itu sudah ada sejak Al-Quran diturunkan. Arti Sab’atu Ahruf (Tujuh Huruf) dalam hadits di atas mengandung banyak penafsiran dan pendapat dari kalangan ulama. Hal itu disebabkan karena kata Sab’ah itu sendiri dan kata Ahruf mempunyai banyak arti. Kata Sab’ah dalam bahasa Arab bisa berarti bilangan tujuh, dan bisa juga berarti bilangan tak terbatas.

D. Hikmah Al-Qur’an Turun Dengan Tujuh Huruf
Hikmah yang dapat diambil dengan kejadian turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sebagai berikut:
1. Mempermudah ummat Islam khususnya bangsa Arab yang dituruni Al-Qur’an sedangkan mereka memiliki beberapa dialeks (lahjah) meskipun mereka bisa disatukan oleh sifat ke-Arabannya.
2. Sebagai mukjizat al-Qur’an dari sisi lughawi (bahasa) bagi bangsa Arab. Karena beragamnya dialek diantara suku-suku Arab.
3. Mukjizat al-Qur’an dari segi makna dan penggalian hokum. Karena berubahnya bentuk lafaz dalah sebagaian huruf akan menghasilkan produk hukum yang dapat berlaku dalam setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat (penyimpulan hokum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.
4. Menyatukan ummat Islam dalam satu bahasa yang disatukan dengan bahasa Quraisy pilihan dikalangan suku-suku bangsa Arab yang berkunjung ke Makkah pada musim haji dan lainnya.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa jumhur ulama dalam masalah ini cenderung mengambil jalan akomodatif, dengan tidak membenarkan pendapat yang menyatakan mushaf Usmani hanya memuat satu huruf, juga tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa mushaf Usmani sudah mencakup keseluruhan sab’at ahruf. Dari pandangan ini jumhur terlihat ambivalen, di mana pada satu sisi mereka tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa mushaf Usmani telah mencover keseluruhan sab’at ahruf, ini berarti ada bagian dari sab’at ahruf yang dihilangkan, namun pada sisi lain mereka juga tidak membenarkan pendapat al-Tabari yang menyatakan bahwa mushaf Usmani hanya memuat satu huruf saja. Padahal argumentasi al-Tabari mengenai permasalahan ini selaras dan dapat dipertanggung jawabkan secara historis. Dari sini dapat dipahami bahwa turunnya al-Qur’an dalam berbagai variasi bacaan (sab’at ahruf), sifatnya kontekstual dan bukan suatu yang normatif. Hal ini dapat diketahui dari konteks turunnya di Madinah yang awalnya berfungsi sebagai keringanan dan kemudahan bagi umat Islam yang saat itu terdiri dari berbagai kabilah dengan beragam bahasa dan dialek, yang hal itu tidak terjadi di Mekkah karena umat Islam masih minoritas dan tidak butuh pada adanya variasi bacaan al-Qur’an.

B. Saran Dan Kritik
Dalam penulisan makalah ini tentu akan didapat banyak kekurangan dan kesalahan mengingat kemampuan penulis sangatlah terbatas, saran dan kritik yang bersifat membangun sangatlah penulis tunggu demi perbaikan penulisan di masa-masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyuti, Jalalal-Din. al-Itqan fi‘Ulum al-Qur’an. jilid I Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Qaththan, Manna’, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Litera AntarNusa, Bogor, 1992
Akaha, Abduh Zulfidar. al-Qur’an dan al-Qira’at. Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 1996.
Al-Baghdadi, Sayyid Mahmud al-Alusi. Ruh al-Ma’ani fi al-Tafsir al-Qur’an al-Azim wa Sab’ al Masani. Jilid XIX. Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
Al-Salih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Al-Tabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir. Jami’ al-Bayan fi ta’wil al-Qur’an. Jilid I. Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
Al-Zarqani, Muhammad Ibn Abd al-Azim. Manahil al-Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, jilid I. Beirut: Dar al-Fikr, 1988
Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, juz. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1951)
Kamaludin Marzuki, Ulum al-Qur’an, Bogor:Ar-Ruzz Media,1994
Muhammad bin Isa al-Turmudi, Sunan al-Turmudi, juz. 8 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994) Muhammad bin Ismail al-Bukhari, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, juz. 3, (Beirut: Dar al-Kutub, 2004)
Muslim al-Hajjaj, Sahih Muslim, juz. 6 (Beirut: Dar al-Kutub, 1992)
Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Syihab, H. Umar, Al-Quran Dan Rekayasa Social, Pustaka kartini, Jakarta, 1990

0 komentar:

Posting Komentar